ABU NAWAS DAN JIN IFRIT
ABU NAWAS
Pada suatu hari saat Baginda Raja sedang duduk santai di
singgasananya datanglah seorang Kepala Dusun menghadap Baginda Raja. Ia
mengadukan permasalahan yang sedang menimpa di kampungnya.
“Ampun, Paduka Yang Mulia. Hamba mohon pertolongan Paduka,”
pinta Kepala Dusun tersebut.
“Memangnya apa yang menimpa kampungmu?” tanya Baginda Raja.
“Begini Paduka Yang Mulia, akhir-akhir ini di kampung kami sering diganggu Jin yang jahat,” ujar sang Kepala Dusun.
“Kenapa bisa begitu? Apa yang membuat Jin tersebut mengganggu
kampungmu?” tanya Baginda Raja penasaran.
“Karena kampung kami sangat subur Paduka Yang Mulia, dan
mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Hampir setiap musim panen, kami selalu
mendapat banyak keuntungan,” jawab Kepala Dusun.
Mendengar jawaban tersebut Baginda Raja menjadi bingung.
“Lalu apa hubungannya? Masa gara-gara kampung kamu subur
membuat Jin tersebut mengganggu kampungmu?” tanya Baginda Raja heran.
“Benar, Paduka Yang Mulia. Jin tersebut mengaku, berkat jasa
dialah Kampung kami menjadi subur dan melimpah. Oleh karenanya setiap datang
musim panen ia meminta tumbal seorang gadis. Bila permintaannya tidak kami
penuhi ia mengancam akan menghancurkan desa kami,” kata Kepala Dusun
menjelaskan.
“Oh, jadi itu alasannya? Baiklah sekarang kamu pulang saja,
nanti saya akan mengutus seseorang untuk mengatasi masalah di kampungmu,” balas
Baginda Raja.
Selepas Kepala Dusun itu pamit pulang Baginda Raja memanggil
semua penasihat istana untuk mencari solusi atas permasalahan yang menimpa kampung
tersebut.
Salah satu penasihat istana berkata, “Paduka Yang Mulia, yang
kita hadapi adalah makhluk halus. Kita tak mungkin melawannya dengan pasukan
kerajaan yang ada nanti para prajurit malah kerasukan,” ujar penasihat istana.
Sedangkan para penasihat istana yang lain terlihat masih
kebingungan mencari solusi yang tepat.
Karena belum juga menemukan solusinya akhirnya terbersih di
benak Baginda Raja, sosok Abu Nawas, maka saat itu Baginda Raja langsung
memerintahkan beberapa prajurit istana untuk menjemput Abu Nawas di rumahnya.
Singkat cerita datanglah Abu Nawas ke istana dan menghadap
Baginda Raja. “Ampun Paduka Yang Mulia, ada gerangan apa Paduka, memanggil
hamba?” tanya Abu Nawas.
“Saya akan memberimu tugas penting, Abu Nawas. Tugas ini
harus kamu laksanakan. Kamu tidak boleh menolaknya,” balas Baginda Raja.
“Tentu saja saya siap, Paduka Yang Mulia. Kalau boleh tahu,
tugas apakah itu?” tanya Abu Nawas kembali.
“Suasana di kampung sebelah sedang tidak aman, Abu Nawas. Katanya
ada Jin yang suka mengganggu warga kampung tersebut dan saya perintahkan kamu,
agar kamu menyelesaikan masalah ini,” titah Baginda Raja.
Spontan Abu Nawas kaget mendengarnya.
“Maksud Paduka, hamba disuruh menaklukkan Jin yang jahat itu?”
tanya Abu Nawas memastikan.
“Benar sekali, Abu Nawas. Aku tahu kamu pasti bisa
mengalahkannya,” ujar Baginda Raja.
“Waduh! Ini sih tugas yang sangat berbahaya. Taruhannya nyawa
bisa melayang,” pikir Abu Nawas. Raut muka ketakutan dan gemetaran mulai
terlihat pada diri Abu Nawas.
“Ampun, Paduka Yang Mulia. Apa Paduka, tidak salah orang?
Saya kira Paduka, keliru kalau sampai menunjuk saya, sebab saya ini bukan orang
sakti,” jawab Abu Nawas mencoba berkilah.
“Wahai, Abu Nawas. Aku tahu kamu memang bukan orang hebat,
bukan pula orang sakti, tapi dengan akal cerdikmu, saya yakin kamu bisa
mengalahkan Jin jahat itu,” ucap Baginda Raja.
Dengan berat hati terpaksa Abu Nawas menerima tugas tersebut,
karena apabila ia menolaknya, ia bisa dihukum berat oleh Baginda Raja.
Pada keesokan harinya berangkatlah Abu Nawas menuju kampung
yang dimaksud. Setibanya di sana ia langsung menemui Kepala Dusun.
“Apakah Anda, utusan Baginda Raja?” tanya Kepala Dusun.
“Iya, benar. Saya diutus Baginda Raja ke sini,” jawab Abu
Nawas.
Kepala Dusun itu lalu menceritakan semuanya tentang sosok Jin
yang sering mengganggu kampungnya termasuk meminta tumbal seorang gadis saat
musim panen tiba.
Setelah mendengar secara saksama Abu Nawas lalu bertanya. “Apakah
di antara warga ada yang pernah melihat wujud Jin tersebut?”
Sang Kepala Dusun menjawab. “Saya kira hampir semua dari
warga kami pernah melihatnya. Saya sendiri juga pernah melihatnya.”
Abu Nawas kemudian kembali bertanya. “Bagaimana wujudnya?”
Kepala Dusun tersebut menjawab, “Tubuhnya tinggi dan
rambutnya dikucir di antara kepalanya yang botak.”
Seketika Abu Nawas
langsung mengetahui kalau Jin yang dimaksud adalah Jin Ifrit.
“Sepertinya aku harus mencari cara supaya bisa mengalahkan
Jin Ifrit,” pikir Abu Nawas.
Setelah berpikir agak lama muncullah ide cemerlang di otaknya.
“Bagaimana, Tuan. Apakah Tuan, sanggup menghadapinya?” tanya Kepala
Dusun kepada Abu Nawas.
“Tenang saja. Jin Ifrit itu pasti akan bertekuk lutut di
hadapanku. Pada dasarnya dia hanya menggertak saja. Pasti ada wanita yang
sedang dia sukai.”
“Begini saja. Saya akan menulis surat tantangan untuknya dan
saya minta tolong supaya suratku ini diberikan kepada Jin ifrit,” perintah Abu
Nawas kepada Kepala Dusun.
Abu Nawas kemudian membuat surat tantangan dan memberikannya
kepada Kepala Dusun untuk disampaikan kepada Jin Ifrit.
Setelah surat tantangan dari Abu Nawas diberikan kepada Jin Ifrit,
tak pelak Jin itu pun menjadi marah. Dia berjanji akan membunuh siapa saja yang
berani menantangnya.
Sambil menunggu waktu pertandingan, Abu Nawas membuat sandal
yang sangat besar, tingginya saja sampai 40 meter.
Ketika sandal tersebut selesai dibuat Abu Nawas meletakkannya
di tengah lapangan dimana lapangan itu nantinya akan menjadi tempat bertanding
antara Abu Nawas dan Jin Ifrit.
Setelah sebulan berlalu tibalah saatnya waktu yang ditentukan.
Jin Ifrit yang sudah geram menahan emosi langsung menuju
lapangan untuk menghancurkan orang yang menantangnya.
Jin Ifrit datang dengan suara yang menggelegar. “Di mana
laki-laki yang berani menantangku! Keluarlah! Aku akan menghancurkan tubuhnya!”
ucapnya sambil marah-marah.
Para warga yang tadinya berkumpul hendak menyaksikan spontan
pada berlarian meninggalkan lapangan karena takut menjadi sasaran amukan Jin.
Tidak berapa lama muncullah Abu Nawas ke tengah lapangan
untuk menghadapi Jin yang jahat itu.
“Oh, jadi kamu yang bernama Abu Nawas! Orang yang berani
menantang saya. Apa kamu sudah bosan hidup? Ayo, sekarang kita bertarung!”
tantang Jin Ifrit.
“Maaf Anda, salah orang. Saya ini muridnya Abu Nawas,” kata
Abu Nawas berpura-pura.
“Lalu ngapain kamu datang kemari? Cepat panggil gurumu untuk
bertarung denganku!” perintah Jin Ifrit.
“Jangan khawatir. Guruku pasti akan datang kemari. Aku ke
sini disuruh untuk mengambil sandal guruku. Kemarin sehabis latihan sandalnya tertinggal,”
balas Abu Nawas sambil menunjukkan sandal yang sangat besar yang tergeletak
hampir menutupi separuh lapangan itu.
“Sandalnya Abu Nawas?” tanya Jin Ifrit.
“Iya. Memangnya kenapa, tapi saya tidak kuat mengangkatnya
sendirian. Maukah kau membantuku membawakan sandal ini?” minta Abu Nawas.
Melihat sandal yang berukuran sangat besar tersebut sejenak Jin
Ifrit itu terdiam. “Sandalnya saja sebesar lapangan. Bagaimana dengan orangnya?”
pikir Jin ifrit yang mulai ketakutan.
“Atau begini saja, saya akan panggil guru saya untuk datang
ke sini langsung. Kalau saya ditanya mana sandalnya saya akan beralasan kalau
kamu menghalang-halangi saya untuk mengambil sandalnya,” ujar Abu Nawas.
“Jangan! Jangan lakukan itu. Lebih baik aku pergi saja
sekarang dan aku berjanji, aku tidak akan pernah mengganggu desa ini lagi,”
balasnya.
Kemudian Jin ifrit yang jahat ini berteriak dan segera
menghilangkan karena ketakutan. Sejak saat itu kampung tersebut kini kembali
aman dari gangguan Jin Ifrit.
No comments:
Post a Comment