CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 6
BAB 6
Tujuh belas hari selanjutnya.
Ramai bapak-bapak di
tempat wudu yang baru kemarin dilangsungkan serah terima dari yayasan penyalur
wakaf. Azan Isya baru saja selesai berkumandang, tinggal menunggu Sobirin komat.
“Wah apik yo saiki
padasane, krane yo wes okeh, ra usah wudu ko omah saiki nek arep jamaah neng
mejid,” seloroh satu bapak-bapak yang menggulung ujung celananya.
“Dadine yo apik, iki baru
jenenge tuKang,” sambar satu lelaki yang juga masih mengantre.
“Sopo tukange?”
“Kang Noto.”
“Ealah? Yo iso nuKang to
kae uwonge, tak kiro tuKang ….”
“Ehem!” dehem Kuswanoto
yang sudah tahu kalau dirinya lagi di bicarakan.
“Eh, Kang Noto, ndingaren
melok sembayang neng mejid, hehehe,” sapa lelaki yang merasa malu karena yang
di bicarakan ada di sampingnya.
“Ginio, udan mari iki ta?”
jawab Kuswanoto sinis, lalu segera dia mengambil wudu.
“Kang! Yang kanan dulu,
mosok wudu yang kiri dulu!” kata Samamudin yang berdiri dari tadi mengamati
gerakan Kuswanoto.
“Sak gelemku, seng wudu
sopo!”
“Yo Njenengan.”
“Lha kok awakmu seng
repot!”
Seketika Samamudin
menggaruk kepalanya dengan bibir dikerutkan, ditambah mata melirik ke Tugil,
yang juga tersenyum kepadanya.
“Sarunge di kumbah ora kui
hihihihi,” ledek seorang lagi yang wudu di sebelahnya.
“Lapo! Nek kotor kate mbok
umbahno ta piye!” jawabnya sewot.
“Yong alah Kang, ndang kenek
stroke lo ko Njenengan nek sitik-sitik muring.”
Tak lama kemudian komat di
ucapkan, tanda masuk fardu empat rakaat. Kuswanoto berdiri di shaft paling belaKang,
di apit Saimun dan Mukidi.
****
“Sekali lagi, bapak-bapak
di kumpulkan di tempat yang paling mulia ini untuk kami sebagai pengelola dana
wakaf berterima kasih yang sebanyak banyaknya kepada semua yang hadir di sini
khususnya dan seluruh warga pada umumnya.”
“Alhamdulillah, semua
berjalan sesuai dengan apa yang di rencanakan, semua tepat waktu, itu semua
berkat bapak-bapak semua,” lanjut Pak RT.
“Bapak-bapak semua opo,”
gerutu Kuswanoto.
“Ya, seng liyane nyumbang
duit koh,” balas Saimun yang duduk di samping Kuswanoto , memperlirih suara.
“Kang?” panggilnya kepada
Kuswanoto yang masih terlibat obrolan kecil dengan Saimun.
“Kanggg!” teriak
Samamudin, membuat Kuswanoto gelagapan, tak tahu kalau dia dipanggil oleh Pak
RT.
“Gak sisan nganggo
sepeker! Krungu, krungu gak budek!” bentak Kuswanoto.
“Krungu kok di timbali Pak
RT gak semaur, ngobrol ae iku opo,” gumam Samamudin.
“Buat Kang Noto, untuk
masalah biaya pengerjaan, kami mohon maaf, sangat mohon maaf, nanti biar saya
bicarakan dengan Ustad, bukanya begitu to Tad?”
“Ndak apa-apa Pak Rete
kalau dananya sudah habis, pasti Kang Noto juga ikhlas kalau ndak dibayar,
apalagi untuk masjid, iya to Kang!” kata Samamudin mulai membakar emosi
Kuswanoto.
Kuswanoto hanya bisa
menelan ludah, empat belas hari sudah masuk dalam hitungannya, satu juta empat
ratus, bahkan dia sudah berpikir untuk membaginya dengan Sri, setelah istrinya
dia berikan sebagian.
“Yo gak iso lah! Wes
perjanjiane, nek gak sanggup bayar lapo wingi gak di gotong royongno ae!”
katanya setengah ngotot.
“Lho bukannya ndak dibayar
Kang, cuma kemarin hitunganku meleset untuk membeli material, jadi aku pikir
jadikan dulu saja bangunannya, perkara bayaran Njenengan dan Lek Saimun nanti
tetap kita usahakan,” jabar Pak RT.
“Asuu! Pesti di korupsi
iki ambek awake, Rete dianciok!” maki Kuswanoto dalam hati.
“Iya Kang, lagi pula hanya
beberapa hari saja, nanti kita ambilkan dari kas masjid, kami mohon maaf
sekali, bukannya kami tak mau membayar, hanya kalau uang kas mesti Sobirin
ambil dulu dari tabungan di bank, mungkin kalau ndak besok paling lambat lusa Insha’Allah
sudah kami lunasi,” timpal Ustad Sopyan.
“Enek to wong kerjo wes
rampung gak di bayar, malah apike sak durung keringete garing, kudune nek wong
kerjo wes dibayar!” sekak Kuswanoto kepada Ustad.
“Iya kami tahu Kang, ini cuma
hanya sedikit masalah di anggaran belanja kemarin.”
“Halah pasti duit
sumbangan di korupsi, mosok nggo mbayar uwong kerjo nganti gak iso, kebiacut
tenan, op ogak mesakno Saimun iki do an!”
Semua terdiam, walaupun
kasar dalam pengucapan, ada benarnya apa yang di katakan Kuswanoto.
“Sih, kok nyong di
gawa-gawa, wingi ujarku sih Rika seng butuh duit, saiki nyong nggo alesan,
kepriwe sih Kang!” tolak Saimun.
“Wes to menengo!” bisik
Kuswanoto dengan melotot ke arahnya.
“Maaf, kalau pendapat Kang
Noto saya mengkorupsi dana ini, Insha’Allah besok akan saya bawakan rincian
belanja serta notanya, tidak ada niat saya untuk korupsi dana wakaf, apalagi
ini untuk kepentingan kita bersama.” Tolak Pak RT saat dia di sebut korupsi
dana wakaf.
“Waduhh, ngajak rame ki Kang
Noto, mosok Pak RT diomong korupsi, yo dak mungkin lah kalau Pak RT korupsi,
lha wong dia saja nyumbangnya paling banyak, memang Pak RT sudah ketularan
Njenengan, terus Njenengan mau bilang kalau uang korupsinya di kasihkan ke
janda ngitu?” bela Samamudin.
Seketika memerah malu wajah
Pak RT saat mendengar ucapan Samamudin, dan Kuswanoto pasti sudah mengetahui kedekatannya
dengan Sri, karena mereka berdua memang diam-diam suka ke rumah janda itu.
“Sudah, sudah tidak usah
diperpanjang, intinya hanya tertunda sehari saja, pasti kita bayar, saya harap Kang
Noto bersabar ya Kang,” tenang Ustad saat suasana diyakini bakal gaduh lagi.
****
“Kenapa to Pak kok
kelihatannya lesu bener?” kata Warsinah seraya meletakkan gelas yang masih
mengepulkan asap tipis.
“Mosok duwek sakmono okehe
nggo mbayar wong kerjo ngati gak enek,” ucap Kuswanoto dengan wajah kusut.
“Ya sudah to Pakne, anggap
saja itu sodakoh.”
“Sodakoh! Besok minggu
sudah ada kondangan, belum hari rabunya di tempat Pak Sarbini, terus sabtu di
rumah Pak Muin, minggu lagi becekan neng
omahe Yu Sarintem … mumet, mumet sirahku Makne! Mumet!”
“Lha ya mau bilang
apalagi, apa Njenengan ke pasar saja, minjem uang sama Sekar,” kata Warsinah
dengan nada sedih. Sungguh dia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu
suaminya.
“Isin awakku, awakmu ae kono
nek gelem!” kata Kuswanoto seraya menarik ujung sarungnya, lalu duduk njegang.
“Lha terus piye ini Pak?”
Kuswanoto tak menjawab,
dia lalu meraih HP, dia juga tak tahu harus menghubungi siapa untuk meminjam
uang, ada juga yang paling berduit adalah Samamudin.
“Opo dewe nyumbang nggo
amplop kosonga ae Makne, gak usah di tulisi jeneng,” tawar Kuswanoto memberikan
jalan keluar.
“Ngawur Njenengan ki Pak,
gak ilok!”
“Lha dari pada dewe gak
ngetok, malah gak penak to. Iyo to.”
“Ya tapi mosok to Pak
amplop kosong!”
“Yo wes kono jal pikiran
dewe, opo goleko utangan kono nek gak gelem nganggo coroku.”
Warsinah terdiam, belum
pernah seumur hidupnya nyumbang bermodalkan amplop kosong, paling tidak dia
tahan untuk berhutang, tetapi kalau mengingat dekatnya waktu yang hampir
bersamaan, dia mau pinjam uang sama siapa, orang yang dipinjam juga butuh untuk
nyumbang.
No comments:
Post a Comment