CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 5
BAB 5
Dengan dibantu Saimun,
Kuswanoto baru saja menyelesaikan fondasi bangunan, “Kayak kie apa ya Kang?”
tanya Saimun dengan beberapa potongan besi delapan mili di tangannya.
“Yo terus dirakit sisan,
iku bakal nggo slop gantunge,” jawabnya dengan terus mendekatkan kepingan
batako.
“Ngrakite sih model
kepriwe?”
“E … ladalah, godakmu iki
to Mun … Simun, ngrakit wesi ae kok yo gak godak!” maki Kuswanoto.
“Lha ngandel to, mesti
muring meneh, nyong takon salah, ora takon jare keminter,” batin Saimun.
“Nyong kiye gur takon koh,
nyong temenan ora weruh ngrakit wesi iku kepriwe.”
“Wes ngaduko msemen ae
kono! Nyuwen-nyuweni penggaean tok!”
“Heh, getun nyong takon,
reti nyong bundeli bae sisan gawe kabeh ambi kawat bendrat,” gerutunya seraya
meraih cangkul.
Kuswanoto akhirnya
menerima tawaran dari dua orang yang kemarin malam bertamu ke rumahnya, Pak RT
yang di temani Ustad Sopyan meminta dia untuk dipercaya menggarap bangunan tempat wudu, awalnya Kuswanoto menolak,
lagi-lagi, Warsinah angkat bicara serta mengelus watak kaku suaminya.
“Di sawah yo belum tandur,
hitung-hitung itu kan buat amal Panjenengan dengan membuatkan tempat wudu, yo
ndak usah ngitung berapa upahnya, di kasih yo alhamdulillah, ndak yon dak
apa-apa, lha Njenengan kan biasa buat perumahan dulu di proyek, iya to?”
“Yo tapi awakku gak seneng
nek perkoro gend ….”
“Perkara apalagi, namanya
tetangga ya begitu, selalu saja metani keburukan orang.”
“Lha memangnya mereka
membicarakan Njenengan apa, coba cerita, mereka semua bilang apa tentang Njenengan,”
tambah Warsinah.
“Eh … anu gak Makne, gak
ngomong opo-opo, gur ngomongno nyumbangku limang ewu,” bohong Kuswanoto yang
tak mau menceritakan perihal kedekatannya dengan Sri, dan itu yang memicu ramai
di masjid.
“Yo sudah, Njenengan ganti
nyumbang tenaga saja, gitu saja kok repot!”
“Yo masalahe ki ….”
“Sudah yo Pak, kalau untuk
urusan bantu di masjid jangan banyak ini itu, ona anu, biarpun nyumbang tenaga
yang penting Njenengan ikhlas.”
“Podo ae yo an iki,” batin
Kuswanoto.
Warsinah terus melipat
baju yang tadi sore dia angkat di jemuran tali, “Kita ini kan lagi tidak punya yang
kalau untuk nyumbang banyak, biarkan saja mereka bicara apa yo jangan diladeni,
nanti begitu saja Njenengan muring di masjid.”
“Gak sopo seng muring neng
masjid awakku gak muring, awakku uwonge sabar Makne.”
“Ya syukur … ngunduri tuo
Pakne, dikit-dikit jangan gampang emosian, malu sama umur.”
“Halah muna –muni koyok Kiai
ae,” batinnya lagi, merasa di sindir.
****
“Bagaimana Kang, kira
kira-kira selesai tidak sesuai dengan waktu yang telah di tentukan,” kata Pak
RT.
“Yo nek gak rampung nyoh!
Tandangono dewe!” jawab Kuswanoto seraya
menyerahkan cetok di tangannya, hatinya selalu kesal kalau mengingat Pak RT,
apalagi sampai di dekatnya, tak lain, ini masalah pribadi diantara mereka yang
saling merebutkan tempat di hati janda semlohek, Sri.
“Lho? Saya ini cuma tanya
kok ya,” balas Pak RT, segera meninggalkan Kuswanoto yang berdiri di palang
kayu seteger. Bisa panjang urusannya kalau meladeni Kuswanoto.
“Ya sudah Kang kalau perlu
material nanti bisa bilang saya, atau nyuruh Lek Saimun.” Segera Pak RT berlalu
meninggalkan mereka, terlalu lama di sini bisa satu keping batako melayang ke
arahnya. Dia paham betul watak lelaki yang berdiri seraya terus memasang batako
untuk menuju nol badan bangunan.
“Kopinya Kang,” ucap
perempuan yang tersenyum dan berjalan lenjeh.
“Opo!” sahut Kuswanoto
dari atas.
“Kopi!” teriaknya seraya
pasang senyum manis semanis kopi buatannya.
“Oalahhh … tak kiro susu,
hehehehe,” kekeh Kuswanoto, terlihat dia berjongkok diatas kayu seteger.
“Susu … mau apa gimana?
susuku masih seger lo Kang? Hik hik hik.”
“Halah! Susu ngglambreh
kok seger!”
“Lho kalau yang pegang
Njenengan pasti kencang lagi, apalagi dikusuk-kusuk sama brengosnya Njenengan,
ihhh geli ah,” godanya dengan tubuh terus menggeliat bak ulat keket.
“Wes delehen kono ae,
tanggung iki jek an.”
“Ahh … KaKang, apa mau aku
bantuin.”
“Kate ngewangi opo,
nyekeli suwalku gelem gak!”
“Ih KaKang, kalau bercanda
keterlaluan ah.”
“Ehemm!” dehem Saimun yang
tiba dari rumah dengan membawa termos air panas.
“Ginuk, deneg kowe wis
gawa kopi, lha nembe nyong mulihkie njikut banyu panas,” kata Saimun melongo di
depan janda genit bernama Ginuk.
“Arep mengapa neng kene,
ngguda Kang Noto! Wis jan, iki wis ra bener … ra bener temenan lah sumpah.”
“Ih Lek, siapa yang mau godaain
situ, saya hanya mau ngater kopi untuk Kang Noto, memangnya kalau saya nyumbang
kopi ndak boleh!”
“Ya ulih, nyong ra kanda
ra ulih, tapi nek anak owe, kae deleng … tuKange malah ora kerja, deleng kae
deleng.” Saimun menunjuk Kuswanoto yang senyum-senyum.
“Wis lah sokna kono, wis
mulih kana, ra apik randa trunyakan turut mejid, wis kana mulih!”
“Kang! Jangan lupa minum
kopi buatanku ya, pokoknya tak jamin legit pol,” ujar Ginuk, dan belum juga
beranjak dari situ.
“Heh rungakna ya, mending
kowe mulih kana, ngko konangan Pak RT malah bisa kowe di sidang maning, gelem
apa di sidang maning.”
“Memangnya Ginuk nglakuin
apa main sidang-sidang saja, lha wong Pak RT juga ….”
“Haduhh biyongnn, wis kana
mulih ngapa, dawa urusane kie lah, dawa.”
“Ya sudah, memang saya mau
pulang, Kanggg?”
“Opo neh!” sahut
Kuswanoto.
“Muachhh!” Ginuk
memonyongkan bibir dengan telapak tangan terbuka tepat di depan bibir.
“Muachhh … cup, cup cup!”
balas Saimun.
“Ih, bukan untuk Sampean
Lek! Mangkel aku!”
“Hahahahaha,” tawa Saimun
mengiringi Ginuk yang pergi meninggalkan mereka.
“Ana-ana bae ki ya randa
ya? Rumangsaku pantang ndeleng wong lanang bagus, gatel apa piye iku.”
“Wes modele ngono kok yo,
mangkane dolan nggone rondo ben roh piye nek modele rondo nggudo wong lanang,”
celetuk Kuswanoto dengan tersenyum membelaKangi Saimun yang masih bergidik oleh
sikap Ginuk.
“Ih males temen nyong
kenal randa kaya kuwe, durung ngambung
wis nyosor ndisit nek model kaya kuwe, dasar randa bolong.”
Bangunan yang tak seberapa
di banding rumah perumahan yang sering Kuswanoto buat, dalam satu minggu sudah
terpasang atap asbes yang di datangkan dari toko bangunan bersama material
lain. Dengan dibantu Saimun, mereka kini tinggal menyelesaikan molester dinding
serta pemasangan keramik lantai. Walaupun hanya diupah seratus ribu, tetapi
Kuswanoto tetap menganggap bangunan ini adalah tanggung jawabnya untuk selesai
tepat waktu, yakni hanya dua minggu saja harus sudah selesai.
Bukan hanya Ginuk, banyak
ibu-ibu yang datang dengan membawa berbagai makanan yang mereka buat untuk
Kuswanoto dan Saimun.
No comments:
Post a Comment