Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 5


 BAB 5

Dengan dibantu Saimun, Kuswanoto baru saja menyelesaikan fondasi bangunan, “Kayak kie apa ya Kang?” tanya Saimun dengan beberapa potongan besi delapan mili di tangannya.

“Yo terus dirakit sisan, iku bakal nggo slop gantunge,” jawabnya dengan terus mendekatkan kepingan batako.

“Ngrakite sih model kepriwe?”

“E … ladalah, godakmu iki to Mun … Simun, ngrakit wesi ae kok yo gak godak!” maki Kuswanoto.

“Lha ngandel to, mesti muring meneh, nyong takon salah, ora takon jare keminter,” batin Saimun.

“Nyong kiye gur takon koh, nyong temenan ora weruh ngrakit wesi iku kepriwe.”

“Wes ngaduko msemen ae kono! Nyuwen-nyuweni penggaean tok!”

“Heh, getun nyong takon, reti nyong bundeli bae sisan gawe kabeh ambi kawat bendrat,” gerutunya seraya meraih cangkul.

Kuswanoto akhirnya menerima tawaran dari dua orang yang kemarin malam bertamu ke rumahnya, Pak RT yang di temani Ustad Sopyan meminta dia untuk dipercaya menggarap bangunan  tempat wudu, awalnya Kuswanoto menolak, lagi-lagi, Warsinah angkat bicara serta mengelus watak kaku suaminya.

“Di sawah yo belum tandur, hitung-hitung itu kan buat amal Panjenengan dengan membuatkan tempat wudu, yo ndak usah ngitung berapa upahnya, di kasih yo alhamdulillah, ndak yon dak apa-apa, lha Njenengan kan biasa buat perumahan dulu di proyek, iya to?”

“Yo tapi awakku gak seneng nek perkoro gend ….”

“Perkara apalagi, namanya tetangga ya begitu, selalu saja metani keburukan orang.”

“Lha memangnya mereka membicarakan Njenengan apa, coba cerita, mereka semua bilang apa tentang Njenengan,” tambah Warsinah.

“Eh … anu gak Makne, gak ngomong opo-opo, gur ngomongno nyumbangku limang ewu,” bohong Kuswanoto yang tak mau menceritakan perihal kedekatannya dengan Sri, dan itu yang memicu ramai di masjid.

“Yo sudah, Njenengan ganti nyumbang tenaga saja, gitu saja kok repot!”

“Yo masalahe ki ….”

“Sudah yo Pak, kalau untuk urusan bantu di masjid jangan banyak ini itu, ona anu, biarpun nyumbang tenaga yang penting Njenengan ikhlas.”

“Podo ae yo an iki,” batin Kuswanoto.

Warsinah terus melipat baju yang tadi sore dia angkat di jemuran tali, “Kita ini kan lagi tidak punya yang kalau untuk nyumbang banyak, biarkan saja mereka bicara apa yo jangan diladeni, nanti begitu saja Njenengan muring di masjid.”

“Gak sopo seng muring neng masjid awakku gak muring, awakku uwonge sabar Makne.”

“Ya syukur … ngunduri tuo Pakne, dikit-dikit jangan gampang emosian, malu sama umur.”

“Halah muna –muni koyok Kiai ae,” batinnya lagi, merasa di sindir.

****

“Bagaimana Kang, kira kira-kira selesai tidak sesuai dengan waktu yang telah di tentukan,” kata Pak RT.

“Yo nek gak rampung nyoh! Tandangono dewe!”  jawab Kuswanoto seraya menyerahkan cetok di tangannya, hatinya selalu kesal kalau mengingat Pak RT, apalagi sampai di dekatnya, tak lain, ini masalah pribadi diantara mereka yang saling merebutkan tempat di hati janda semlohek, Sri.

“Lho? Saya ini cuma tanya kok ya,” balas Pak RT, segera meninggalkan Kuswanoto yang berdiri di palang kayu seteger. Bisa panjang urusannya kalau meladeni Kuswanoto.

“Ya sudah Kang kalau perlu material nanti bisa bilang saya, atau nyuruh Lek Saimun.” Segera Pak RT berlalu meninggalkan mereka, terlalu lama di sini bisa satu keping batako melayang ke arahnya. Dia paham betul watak lelaki yang berdiri seraya terus memasang batako untuk menuju nol badan bangunan.

“Kopinya Kang,” ucap perempuan yang tersenyum dan berjalan lenjeh.

“Opo!” sahut Kuswanoto dari atas.

“Kopi!” teriaknya seraya pasang senyum manis semanis kopi buatannya.

“Oalahhh … tak kiro susu, hehehehe,” kekeh Kuswanoto, terlihat dia berjongkok diatas kayu seteger.

“Susu … mau apa gimana? susuku masih seger lo Kang? Hik hik hik.”

“Halah! Susu ngglambreh kok seger!”

“Lho kalau yang pegang Njenengan pasti kencang lagi, apalagi dikusuk-kusuk sama brengosnya Njenengan, ihhh geli ah,” godanya dengan tubuh terus menggeliat bak ulat keket.

“Wes delehen kono ae, tanggung iki jek an.”

“Ahh … KaKang, apa mau aku bantuin.”

“Kate ngewangi opo, nyekeli suwalku gelem gak!”

“Ih KaKang, kalau bercanda keterlaluan ah.”

“Ehemm!” dehem Saimun yang tiba dari rumah dengan membawa termos air panas.

“Ginuk, deneg kowe wis gawa kopi, lha nembe nyong mulihkie njikut banyu panas,” kata Saimun melongo di depan janda genit bernama Ginuk.

“Arep mengapa neng kene, ngguda Kang Noto! Wis jan, iki wis ra bener … ra bener temenan lah sumpah.”

“Ih Lek, siapa yang mau godaain situ, saya hanya mau ngater kopi untuk Kang Noto, memangnya kalau saya nyumbang kopi ndak boleh!”

“Ya ulih, nyong ra kanda ra ulih, tapi nek anak owe, kae deleng … tuKange malah ora kerja, deleng kae deleng.” Saimun menunjuk Kuswanoto yang  senyum-senyum.

“Wis lah sokna kono, wis mulih kana, ra apik randa trunyakan turut mejid, wis kana mulih!”

“Kang! Jangan lupa minum kopi buatanku ya, pokoknya tak jamin legit pol,” ujar Ginuk, dan belum juga beranjak dari situ.

“Heh rungakna ya, mending kowe mulih kana, ngko konangan Pak RT malah bisa kowe di sidang maning, gelem apa di sidang maning.”

“Memangnya Ginuk nglakuin apa main sidang-sidang saja, lha wong Pak RT juga ….”

“Haduhh biyongnn, wis kana mulih ngapa, dawa urusane kie lah, dawa.”

“Ya sudah, memang saya mau pulang, Kanggg?”

“Opo neh!” sahut Kuswanoto.

“Muachhh!” Ginuk memonyongkan bibir dengan telapak tangan terbuka tepat di depan bibir.

“Muachhh … cup, cup cup!” balas Saimun.

“Ih, bukan untuk Sampean Lek! Mangkel aku!”

“Hahahahaha,” tawa Saimun mengiringi Ginuk yang pergi meninggalkan mereka.

“Ana-ana bae ki ya randa ya? Rumangsaku pantang ndeleng wong lanang bagus, gatel apa piye iku.”

“Wes modele ngono kok yo, mangkane dolan nggone rondo ben roh piye nek modele rondo nggudo wong lanang,” celetuk Kuswanoto dengan tersenyum membelaKangi Saimun yang masih bergidik oleh sikap Ginuk.

“Ih males temen nyong kenal randa kaya kuwe, durung ngambung  wis nyosor ndisit nek model kaya kuwe, dasar randa bolong.”

Bangunan yang tak seberapa di banding rumah perumahan yang sering Kuswanoto buat, dalam satu minggu sudah terpasang atap asbes yang di datangkan dari toko bangunan bersama material lain. Dengan dibantu Saimun, mereka kini tinggal menyelesaikan molester dinding serta pemasangan keramik lantai. Walaupun hanya diupah seratus ribu, tetapi Kuswanoto tetap menganggap bangunan ini adalah tanggung jawabnya untuk selesai tepat waktu, yakni hanya dua minggu saja harus sudah selesai.

Bukan hanya Ginuk, banyak ibu-ibu yang datang dengan membawa berbagai makanan yang mereka buat untuk Kuswanoto dan Saimun.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search